19 Des 2012

Makalah 7 - Filsafat Wedanta



Pendahuluan
      Agama Hindu tidak didirikan oleh orang tertentu, pemikiran, atau inkarnasi tertentu. Dengan demikian, tradisi Agama Hindu bukanlah bersifat tunggal dan merupakan sistem teori, prinsip, atau praktek yang sederhana. Hal ini terdiri dari berbagai pemikiran da pengalaman yang berbeda yang telah terkumpulkan selama lebih dari ribuan tahun oleh para Rsi dan orang-orang suci.[1]
Filsafat, agama, dan ilmu saling berkaitan. Walaupun agama berlandaskan kepercayaan, dan filsafat berdasarkan pertimbangan (ratio), akan tetapi tidak bertentangan, sebab ditinjau dari sudut tujuannya, sama-sama mencari kebenaran.[2] Agama Hindu pun tak terlepas dari Filsafat yang dikenal dengan nama Darsana (Filsafat Hindu).

Makalah 11 - Guru Nanak dan Ajaran-Ajarannya



Pendahuluan
Pengaruh Islam dapat dilihat dari gerakan religious di India Utara dengan ciri monoteisme ketat, tanpa menghiraukan perbedaan kasta dan menolak pemujaan terhadap imaji (patung, gambar dsb.). sebagai contoh Kabir (abad ke-15) yang mengajarkan sebuah agama yang universal berdasarkan pada realisasi personal akan Tuhan yang tinggal dihati manusia. Kemudian, adalah Guru Nanak yang akan kita diskusikan pada makalah ini yaitu seorang yang mendirikan agama Sikh (1469-1538), yang berusaha menyelaraskan Islam dan Hinduisme.[1]

Makalah 9 - Filsafat Mimamsa




A.   PENDAHULUAN
Pada Zaman India Kuno, setiap pengetahuan diasosiasikan dengan sebuah keterampilan yang sangat khusus dan pandangan hidup yang baik. Pengetahuan terutama tidak diperoleh dari buku-buku, kuliah, diskusi dan percakapan, tetapi dikuasai melalui pembelajaran dari seorang guru yang mumpuni. Pembelajaran ini mensyaratkan  penyerahan diri secara total sebagai murid pada otoritas guru; penyerahan diri itu berupa kepatuhan (susrusa) dan keyakinan  yang implisit  ( sraddha).
Murid yang di dalam dirinya bersemayam kebenaran sebagaimana si raja hutan bersemayam di dalam harimau kecil tunduk tanpa syarat kepada gurunya, yang sebagai kontribusinya memberikan pengetahuan kepada si murid. Guru adalah juru bicara pengetahuan yang tinggidan ahli dalam keterampilan tertentu. Murid, ketika menjalankan ibadah religiusnya, harus tunduk kepada guru suciyang memiliki keahlian dan kearifan yang menjadi dasar pengetahuan dalam kariernya.[1]

12 Des 2012

Sekte-Sekte dalam Agama Hindu


A.       PENDAHULUAN
Setiap agama pada realita pasti mengenal berbagai aliran-aliran, sekte-sekte, madzhab-madzhab, golongan-golongan. Alasan utamanya adalah perbedaan pemahaman terhadap ajaran-ajaran tertentu atau perbedaan interpretasinya.
Tuhan Yang Maha Esa adalah Brahman, merupakan asal dari semua yang ada yang pernah ada dan yang akan ada, baik yang bersifat nyata (sekala) maupun yang sersifat tidak nyata (niskala). Alam semesta jagad raya ini adalah ciptaan Tuhan, sebagai wujud nyata akan kemaha beradaan Tuhan.
Alam semesta yang penuh dengan luas yang tiada batasnya ini mengandung rahasia Ilahi yang tak terjangkau oleh alam pikir manusia, walau dibantu dengan tehnologi secanggih apapun. Demikian maha agung dan maha luasnya alam semesta jagad raya ini sebagai wujud nyata adanya Sang Pencipta Yang Maha Agung yang menciptakan segala yang ada di alam semesta ini.
Setelah memahami kemaha agungan Tuhan Yang Maha Esa, selanjutnya bagaimana metode mendekatkan diri kehadapan-Nya, sehingga keberadaan Tuhan betul-betul dirasakan. Banyak jalan yang ditempuh oleh umat manusia untuk melakukan pendekatan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa. Banyak agama dengan sekte-sektenya dan aliran kepercayaan yang mengajarakan berbagai cara untuk umat manusia mendekatkan diri dan menempuh jalan ketuhanan. Seperti dalan agama Hindu muncul beberapa Sekte yang dikenal dengan Sekte Bhakti, Sekte Wisnu, Sekte Siwa, Sekte Brahma, Sekte Sakti, dan Sekte Tantra.

B.        SEKTE-SEKTE DALAM HINDUISME
Sebagaimana yang terdapat dalam agama-agama besar lainnya, maka dalam agama Hindu juga terdapat aliran-aliran atau sekte-sekte yang masing-masing mempuyai konsepsi tersendiri dalam menanggapi beberapa segi ajaran agama yang dipandang lebih penting dari ajaran pokoknya. Pada umumnya sekte-sekte dalam hinduisme ini meletakkan dasarnya dalam masalah metode mencapai kelepasan dari samsara serta masalah filsafat atau teologinya.[1]
Kita menyadari bahwa semua orang ingin mendapatkan jalan yang semudah-mudahnya untuk mencapai tujuan (cita-cita) dengan hasil semaksimal mungkin. Demikian juga halnya dengan usaha sekte-sekte ini dalam mencapai tujuan hidupnya
Agama hindu setelah mengalami perkembangannya lebih lanjut maka sejak 350 SM, timbullah berbagai macam penafsiran atas kitab weda dalam bentuk pemikiran-pemikiran filsafat, sebagaimana kitab-kitab Brahmana, Upanishad, Purana, Aranyaka, Bhagavadgita dan lain sebagainya.
Pada garis besarnya kitab-kitab hindu tersebut berisi tentang masalah-masalah sebagai berikut :
  1. Cerita tentang penciptaan dunia
  2. Cerita tentang pembagian periode-periode zaman (Manvantarani)
  3. Genealogi yaitu silsilah raja-raja dan riwayatnya
  4. Cerita yang mengandung masalah eskatologi (hal-hal yang berhubungan dengan hidup dalam alam akhirat)
  5. Cerita tentanng kekuasaan dewa-dewa dan perbuatan-perbuatannya terhadap manusia yang menggambarkan bagaimana hubungan timbal- balik antara manusia dengan dewa.
Dengan timbulnya kesusasteraan kitab-kitab suci yang kesemuannya mengambil sumber dari cerita-cerita kitab Weda yang kemudian diolah dan ditafsirkan oleh para pendeta dengan latar belakang fikiran/perasaanya, maka akhirnya timbullah berbagi corak tarikah untuk mencapai cita-cita hidup mereka dalam usaha melepaskan diri dari samsara.
Latar belakang Hinduistis yang masing-masing mereka tonjolkan  dalam tarikah-tarikah tersebut, membawa akibat kepada mereka untuk mengadakan pemilihan terhadap objek kedewataan yang menjadi titik akhir tujuan pemujaannya. Dengan demikian itulah akhirnya muncul sekte-sekte yang membentuk lingkaran pemujaan kepada dewa-dewa tertentu.


Sekte Bhakti
Sekitar tahun 500 SM, muncul beberapa kecenderungan “pemujaan”, pelayanan atau kebaktian yang mencakup pengertian percaya, taat dan berserah diri kepada dewa.[2]
Urain tentang bhakti terdapat dalam kitab Narada Bhakti Sutra dan Shadilya Sutra. Kitab ini banyak membicarakan wawasan keagamaan pada sekte bhakti yang terdapat di India. Menurut sutra-sutra tadi, bhakti bukannya merupakan suatu “pengetahuan” dan juga bukan merupakan “perbuatan ritus”, juga bukan merupakan “sistem keagamaan”, tetapi merupakan kasih sayang, ketaatan, kepatuhan dan penyerahan diri kepada sesuatu. Bhakti adalah “pasrah” setulus-tulusnya (prapatti) bukan kepada suatu objek yang bersifat duniawi tetapi hanya kepada “dewa” semata dengan segenap avatara atau ingkarnasinya.[3]
Bhakti ada dua macam, yaitu:
1.      bhakti yang digolongkan sebagai kurang sempurna atau lebih bersifat rendah saja, yaitu kalau motivasinya adalah hal-hal duniawi. Seperti keinginan untuk mendapatkan anak laki-laki, ingin sukses dan sebagainya;
2.      bhakti yang sempurna, yaitu bila puja dan bhakti trsebut dilakukan melulu karena tujuan mencapai dewa dan dengan hati yang tulus dan mengesampingkan segala sesuatu.
Wujud bhakti memiliki jenjang istilah maupun sikap sebagai tatakrama mewujudkan rasa bhakti yang beretika. Istilah bhakti itu diantaranya adalah:[4]
1.      Menghormati adalah pencetus bhakti terhadap semua makhluk, terhadap semua ciptaan Tuhan baik yang nyata maupun tidak nyata.
2.      Memuja adalah wujud bhakti dalam bentuk lamtunan puji-pujian yang ditujukan kepada kebesaran Tuhan baik dalam bentuk manifestasi-Nya atau sifat-sifat ketuhananyang memberi berkah-Nya pada kebutuhan hidup ini.
3.      Berdoa adalah wujud bhakti yang dilakukan dalam menyampaikan permohonan kehadapan-Nya. Atas ketidak mampuan dan keterbatasan kita.
Ajaran bhakti tampak jelas dalam kitab Bhagavadgita yang sering dianggap sebagai dokumen transisional dan kurang konsisten. Bhagavadgita mulai dengan tekanan pada ajaran amal perbuatan yang disebut dengan “karmayoga”dan berakhir pada bhakti kepada khrisna. Sekalipun kitab tersebut mengutamakan ajaran yang disebut “jnanayoga” sebagai bhakti juga, namun jalan menuju dewa atau Tuhan disini tidak merupakan jalan yang sangat penting. Harus diakui bahwa ajaran bhakti yang terpenting sebenarnya adalah ajaran tentang keselamatan.[5]

a.          Khrisna Bhakti
Khrisna sering disebut dalam kitab Mahabharata (suatu epic yang disusun sekitar 400 SM-400 M). dalam kitab ini khrisna muncul sebagai pahlawan yang kemudian terangkat dalam pemujaan sebagai dewa yang maha tinggi dan menjadi Tuhan yang kalau dipuja dan disembah akan menyelamatkan manusia.[6]
Kitab Bhagavadgita memuat uraian tentang suatu peperangan yang tekanannya adalah pada ajaran tentang amal perbuatan atau “karmayoga”. Puncaknya terdapat pada ketaatan Arjuna yang menerima ajaran Krishna berupa pandangan wejangan-wejangan yang mistis. Kunci kepercayaan mengenai Bhakti adalah kepada “Tuhan” semata. Pandangan demikian ditujukan pada orang yang memuja dan melakukan Bhakti, mengabdi dan pasrah hanya kepada dewa, dan mereka inilah orang-orang yang mendapatkan anugerah serta rahmat dari Krishna. Intrepetasi karma yang sangat menekankan pada usaha sendiri sangat erat dengan ajaran diatas. Sekalipun Bhagavadgita mengajarkan bahwa perbuatan pasti terjadi dan bahwa karma adalah hasil atau akibat dari perbuatan, namun disini tampak bahwa dalam ajaran Bhakti orang yang memuja dan melakukan Bhakti pada Krishna tidak akan mengalami kelahiran kembali.
Cerita-cerita mengenai Krishna banyak berkembang sekitar abad ke-4 M yaitu ketika tersusunnya Mahabharata, Harivangsa, dan Bhagavad Puruna. Konon Krishna dilahirkan dalam suatu keluarga bangsawan, dan sejak kecil sudah memperlihatkan hal-hal yang luar biasa. Ia menjalin kisah asmara dengan seorang gadis gembala bernama Radha. Keduanya sering dilukiskan bersama-sama dan seringkali digunakan sebagai suatu kiasan hubungan antara jiwa dan Tuhan.
Kisah Krishna banyak disyairkan  oleh para alvar (para penyair yang biasanya mengungkapkan kehidupan keagamaan atau rasa ketuhanan). Sedemikian mendalamnya mereka tenggelam dalam perasaan ketuhanan dapat dilihat dalam ungkapan-ungkapan mereka tentang kehidupan Krishna dan Radha. Bhakti banyak dilukiskan sebagai tipe orang yang cinta terhadap Tuhan, sebagai cinta kasih orang tua terhadap anaknya. Para alvar tersebut sering mengungkapkan ketaatan dan kepatuhan terhadap Tuhan dalam istilh sakhnya (cinta kasih sayang), dasya (pemujaan dan pengabdian seorang hamba terhadap Tuhannya), vatsalya (kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya), juga madhurya (cinta kasih seorang wanita terhadap pria pujaannya). Para alvar itu banyak yang menempati hati pada acarya yang tampak jelas pengaruhnya dalam pemikiran dasar filosofis tentang Bhakti dan ketuhanan. Diantaranya adalah Acarya Ramanuja.[7]

b.         Rama Bhakti
Rama dikemukakan sebagai pahlawan agung, dan masih tetap manusia. Banyak dewa agama weda disebut dalam epic tersebut, Wisnu dan Siwa menempati kedudukan yang penting. Seperti halnya Khrisna, Rama adalah inkarnasi wisnu. Ia memenangkan Sita melalui suatu sayembara. Dalam cerita kemudian, rama dan Sita diusir, dibuang ke hutan sesuai dengan janji ayahnya, Dasharata, terhadap istrinya yang kedua.[8]
Tokoh sekte ini adalah Ramananda yang hidup disekitar abad 15 M, ia memuja Rama dan Sita,  ia tidak menganggap penting persoalan kasta dalam kaitannya dengan ajaran agama Bhakti. Para penganut ini umumnya berpendapat bahwa seseorang dapat mencapai kelepasan melalui pemujaan terhadap dewa atau Tuhan tanpa memperdulikan masalah kasta. Paham ini disebut Ramanandi, dan sering juga disebut Ramawat. Sekte ini percaya kepada tuhan yang disebut Rama, dan menurut mereka Bhakti adalah cinta kasih terhadap tuhan secara sempurna dan bahwa semua manusia adalah bersaudara. Ramananda tidak sepakat dengan gurunya dalam hal peraturan-peraturan yang ketat mengenai pertarakan dan juga dalam hal larangan makan bersama-sama dengan orang-orang dari kasta yang berbeda. Pemujaan terhadap Rama dilepaskan dari hal yang bersifat esoteris yang diperoleh dari pemujaan terhadap Krishna. Pengikutnya tersebar luas kesegenap penjuru India.[9]

Sekte Wisnu
Sekte wisnu merupakan suatu aliran yang menekankan peemujaan terhadap Wisnu, istrinya dan avataranya. Pemujaan ini biasanya mengutamakan tafsiran teistik pada Wedanta, diantaranya oleh Visnusvamin (abad ke-13), Vattabhacarya (1479-1531), dan Nimbaska (abad ke 12).[10] Sekte ini lebih mengutamakan pemujaannya kepada dewa Wisnu karena dewa ini sangat simpatik bagi mereka dengan sifat-sifatnya yang berdasar pada perasaan bhakti (cinta).[11]
Wisnu biasanya dibedakan menjadi 4 sampradaya pokok atau sekte, diantaranya yang sangat kuno adalah Sri Sampradaya yang diperkenalkan oleh Ramanuja Acarya, kira-kira pertengahan abad ke-12. Para Pengikut Ramanuja memuliakan Wisnu dan Laksmi beserta inkarnasinya, mereka disebut pengikut Ramanuja atau Sri Sanpradayin atau Sri Waisnawa.[12]
Tokohnya yang terkenal adalah ramanuja (wasistadwaita) dan madhva (dwaita) dalam filsafat wedanta. Ramanuja adalah  seorang brahmana asal India selatan. Ia beruasha untuk mempersatukan agama Wisnu. Ia menuliskan tafsir wedanta-sutra, yang disebutnya dengan sri bhasya. Ramanuja menyusun marga-marga menjadi Karma marga (jalan pekerjaan), Jnana marga (jalan budi yang lurus), dan Bhakti marga (jalan penyerahan diri kepada tuhan).[13] Sumber lain menambahkan yoga marga (jalan pengheningan cipta dan bertapa).
Mahdva adalah seorang yang pada sekitar abad ke-13 membawa teologi aliran wisnu kedalam dualisme bebas. Wisnu sebagai jiwa dan sangat berbeda dengan alam.[14] Jiwa ini punya sebutan sebagai cit (sadar) dan materi atau alam dinamakan sebagai acit (tidak sadar). Alam materi sangat bergantung  dan tunduk kepada tuhan dan tuhan akan menyelamatkan orang-orang yang disenanginya yang hanya merekalah yang tulus dan suci saja. Dan jiwa takkan binasa melainkan dapat berpindah-pindah dari jasad tanpa akhir.
Pandangan pengikutnya antara lain menyatakan bahwa kebaikan wisnu dengan bhaktinya adalah yang dapat memberikan jaminan kedamaian hidup bagi umat pemujannya, karena itu cukuplah bagi pengikut-pengikutnya untuk menyerahkan diri saja kepadanya.
Sikap penyerahan diri kepadanya akan membawa mereka kepada Nirwana. Segala kebaikan bakti Wisnu (atau disebut iswara atau bagavat) itu dilukiskan dengan panjang lebar dalam kitab sucinya yaitu kitab purana. Didalam kitab tersebut diceritakan bagaimana manifestasi dan kebaikan bhakti Wisnu dalam usahanya menolong ummat manusia dari segala bentuk kehancuran dan kejahatan. Dengan jelma (melakukan avatara) menjadi berbagai makhluk ajaib dalam 10 rupa, maka kehancuran dan kejahatan dapat dihindari.[15]
Dalam perkembangan selanjutnya aliran ini berkembang  menjadi beberapa sekte dan yang penting diantaranya Pancharatra, Waikhanas dan Karmahina. Sampai sekarang aliran yang mempunyai banyak penganut di India adalah aliran sri dengan tokohnya ramanuja, aliran Brahma dengan tokohny Madvacarya, aliran Rudra dengan tokohnya Visnuvamy, dan sanak dengan tokohnya Nimbaska.[16]
Seperti dikemukakan dalam literatur, sekitar abad ke-4 ada dua dewa yang sangat terkenal yaitu wisnu dan Siwa pada masa purana sekitar 300-1200, wisnu sangat tinggi kedudukannya dan sangat luas pengaruhnya karena ajaran avataranya yang dikembangkan saat itu. Dalam purana, wisnu dinyatakan mempunyai beberapa avatara secara tradisional), akan tetapi kalau diperhatikan benar-benar barangkali saja ada lebih dari duapuluh avatara. Kesepuluh avatara tersebut ialah :

(1)   Matsyavatara, berupa ikan besar untuk menolong manusia pada saat banjir besar melanda dunia yang akan menenggelamkannya.
(2)   Kurnavatara, sebagai kura-kura untuk menolong dewa-dewa pada waktu mengaduk samudera guna mendapatkan air amerta (air hidup) yakni air yang bilamana diminum orang akan mengalami hidup kekal abadi.
(3)   Narashimha, sebagai singa yang berbadan manusia yang membunuh raksasa yang tidak bisa dibunuh olehsiapapun.
(4)   Varahavatara, sebagai babi rusa yang menolong manusia dengan menggigit bumi yang pada saat itu akan dibawa karpatala (neraka dibawah bumi) oleh musuh-musuh manusia.
(5)   Vamanavatara, sebagai oarang cebol yang dapat mengalahkan cucu raksasa yang bernama Narashinka. Cucu raksasa tersebut bernama Bali (Daitya Bali)
(6)   Budhavatara, sebagai budha yang bertugas melemahkan musuh-musuh dewa yang menyebarkan ilmu palsu.
(7)   Parasuramvatara, sebagai kesatrya yang bersenjatakan parasu ( kampak) membunuh beberapa kesatrya yang menghina ayahnya, sebagai pembalasan atas penghinaan tersebut.
(8)   Ramavatara, rama sebagai kesatrya, anak Dasarata yang dibuang kehutan belantara, dimana ia kehilangan isterinya Shinta, karena perbuatan Dasamuka (Rahmana) yang berwatak rakus dan yang menganiaya ummat manusia. Akhirnya Rama dapat membunuh Rahwana serta dapat merebut kembali isterinya, (cerita tentang Rama tersebut diuraikan dalam kitab Ramayana).
(9)   Kalkiavara, sebagai Kalki ( Ratu Adil) yang dapat mmententramkan dunia yang mengalami kekacauan akibat perbuatan makhluk-makhluk jahat di dunia.
(10)  Kresnavatara, sebagai Kresna yang kemudian membunuh Raja Kamsa (seorang raja Mathura kemenakan Kresna).[17]
Wisnu banyak disebut dalam rigweda. Legendanya terdapat dalam Shataphata brahmana. Dalam cerita-cerita klasik dan ikonografi purana, wisnu dilukiskan berbaring diatas air pada lingkaran gulungan ular kobra yang berkepala seribu yang melindunginya sebagai tudung diatas kepala dan dari pusarnya tumbuh setangkai bunga teratai yang diatasnya ada brahma sang pencipta dunia. Wisnu disini adalah sebagai sang pencipta narayana dalam tubuhnya dan dewa-dewa lainnya terserap kedalam dirinya sebagai avatara-avatara semata.[18]
Semua avatara Wisnu tersebut merupakan salah satu gambaran simbolis yang mencerminkan tentang kebenaran kepercayaan Wisnuisme kepada adanya “juru selamat” dunia dan manusia dari kehancuran hidupnya.[19]
Juru selamat tersebut hanyalah Wisnu tiada dewa yang lainnya yang mampu dengan kasihnya menyelamatkan umat manusia. Oleh karena itu maka pengikut-pengikutnya selalu berserah diri kepada segala kekuasaan dan kehendaknya. Yang dengan demikian mereka dapat mencapai nirwana sebagai yang dicita-citakan itu.[20]
Dalam aliran wisnu masih terdapat dewa lain yang juga dipuja, seperti brahma sang pencipta dan istrinya saraswati yang banyak dipuja oleh para seniman musik dan sastrawan serta para siswa yang mengharapkan kelulusan. Dewa surya (dewa matahari) juga banyak dipuja dikalangan maga Brahman. Anak Siwa yag berkepala gajah yaitu Ganesha juga anak yang lain yaitu Skandha (Kartikeya, Subrhamanya) banyak dipuja di Tamilnad. Istri wisnu sendiri Lakshmi juga dipuja dan disembah sebagai dewi keberuntungan.[21]

Sekte siwa
Sekte ini lebih tua dari sekte wisnu. Disini siwa dianggap sebagai dewa tertinggi, sementara Brahma dan Wisnu dianggap sebagai penjelmaan dari siwa. Istri siwa atau saktinya adalah uma dan parvati. Siwa dipuja sebagai dewa tertinggi dengan nama mahadeva atau mahasevara dengan saktinya mahadevi atau mahasevari. siwa juga disebut sebagai guru oleh para resi atau para yogin (pertapa). Karena itu ia disebut sebagai mahaguru atau mahayogi.[22]
Pemeluk-pemeluk aliran ini sangat optimis terhadap kebulatan kekuasaan dewa Siwa ini. Karena ia dipercayai dapat menjelma menjadi berbagai bentuk kedewataan yang menggambarkan akan kekuasaannya yang besar. Sebagai tanda kekuasaannya dewa ini digambarkan secara fantastis dengan tangan empat. Bilamana sedang menjadi Siwa, mahadewa maheswara,  maka tak ada dewa satupun yang dapat mengalahkan kekuasaannya, bilamana ia sedang menjelma menjadi dewa maha guru maka Siwa adalah sebagai orang tua berjanggut yang sholeh dan suka membimbing manusia kearah hidup bahagia. Tetapi jika ia sedang menjelma menjadi mahakala, maka watak serta sikapnya dilukiskan sebagai raksasa yang buas, merusak apa yang dikehendaki dan kejam.[23]
Dalam aliran siva-Bhagavata, Siwa sering kali diberi avatara-avatara yang hampir sama dengan yang ada pada aliran Wisnu. Hanya saja dalam aliran Siwa avatara-avatara tersebut tidak besar pengaruhnya, dan Siwa tetap menonjol dari padanya.[24]
Penganut Hindu dari sekte Siwa meyakini Tuhan adalah Siwa. Salah satu bentuk pemujaan Siwa yang dilakukan oleh pada Pendeta Siwa adalah dengan mengucapkan mantra yang disebut sebagai Mantra Catur Dasa Siwa, yakni empat belas wujud Siwa. Mantra ini digunakan untuk mendapat pengaruh ke-Tuhan-an yang kuat dan suci serta untuk mendapat kebahagian sekala-niskala.
Para penganut siwa juga mengakui bhakti sebagai cara memuja dan menyembah Siwa. Sekte ini juga terpecah-pecah menjadi beberapa aliran lagi, seperti pasupata, kalamuka, lingayat dan kapalika. Aliran-aliran ini mendasarkan pandangannya pada kefilsafatan.[25]
Tokoh aliran Siwa yang terkenal adalah meykanda yang mengajarkan konsep pati (tuhan) itu kekal, berada tanpa sebab dan maha kuasa. Tuhan adalah Siwa yang berada dimana-mana dan mengetahui segala sesuatu, segala sesuatu adalah ciptaannya melalui “sakti” nya. Pasu (jiwa) juga kekal. Pasu terkandung oleh mala (semacam karat) yang terdiri dari tiga pasa (ikatan, persatuan), yaitu anava, karma dan maya sehingga jiwa selalu berada dalam samsara. Hanya oleh Siwa yang berkuasa atas maya jiwa dapat lepas dari samsara dan mencapai moksa.[26]

Sekte Brahma
Aliran ini lebih mengutamakan pemujaan kepada dewa Brahma, yang didalam paham trimurti dipandang sebagai dewa pencipta alam. Kaum Brahmanalah yang banyak menjadi pengikut sekte ini, dengan kitab sucinya yang mereka susun sendiri kitab Brahmana (800 SM).[27] Didalam kitab tersebut diuraikan tentang cara-cara bersaji dan penyelenggaraan kurban-kurban yang baru dianggap sah apabila didasarkan atas petunjuk-petunjuk para pendeta.
Pokoknya aliran Brahma ini timbul atas usaha kaum brahmana (pendeta) untuk mempertahankan kedudukannya. Maka itu didalam kitab Brahmana (tafsir kitab Weda) dijelaskan adanya keharusan ketundukan orang kepada dua jenis dewa, yaitu dewa-dwea yang benar-benar dewa yang tinggal di kahyangan dan dewa-dewa manusia yaitu para pendeta.[28]
Realisasi dari keinginannya dinyatakan dalam bentuk kehidupan kekastaan yaitu adanya empat kasta, yang ternyata sebagai kasta tertingi adalah Brahmana; ia merupakan golongan yang mempunyai hak-hak istimewa serta kekuasaan luar biasa atas masyarakat dan atas upacara-upacara agama, sehingga dianggap dapat mempengruhi dewa untuk turun ke dunia nyata guna memenuhi permintaan mereka.
Brahma dalam rangkaian trimurti dipandangs ebagai dewa yang paling berkuasa dalam mencipta sesuatu, yang kedudukannya lebih tinggi dari pada kedua dewa lainnya. Itulah sebabnya ia digambarkan sebagai tokoh dewa yang berkepala 4 (empat) serta berwajah indah dengan tanda sekuntum bunga teratai serta naik Hamsa (angsa).[29]

Sekte Sakti
Sebenarnya aliran ini masih dapat dimasukkan sebagai bagian dari aliran Siwa, tetapi karena yang disembah dan dipuji bukan lagi Siwa melainkan saktinya dalam bentuk Durga, dan karena lebih luas dan lebih mendalam, maka lebih tepat kalau dianggap sebagai salah satu aliran keagamaan tersendiri dalam agama Hindu.
 Sakti adalah kekuatan, prinsip aktif yang menyebabkan Siwa mampu menciptakan. Tanpa Sakti tersebut Siwa tidak akan dapat berbuat apa-apa karena Siwa adalah prinsip pasif. Karena itu Sakti menjadi lebih penting daripada Siwa sendiri. Segala sesuatu terjadi karena bersatunya prinsip pasif dengan prinsip aktif. Yaitu persatuan Siwa dengan Saktinya, Durga.[30]
Persatuan antara Siwa dan Saktinya adalah persatuan antara laki-laki dan perempuan, yang dilambangkan sebagai Linga dan Yoni. Karena itu hubungan seks mempunyai arti yang sangat penting dalam sekte Sakti ini. Karena segala sesuatu tercipta melalui persatuan tersebut, maka segala sesuatu mengandung kekuatan dan Sakti Siwa. Bentuk-bentuk tertentu dari Sakti dan segala sesuatu adalah baik; tidak ada yang tidak baik. Hanya orang yang tidak mengerti saja yang beranggapan bahwa ada yang baik dan ada yang tidak baik. Ini keliru, karena anggapan itu hanya didasarkan pada kesadaran manusia sendiri.[31]
Untuk mencapai kebenaran dan kelepasan (moksa) manusia harus melepaskan diri dari belenggu kekeliruan ini. Ia harus melepaskan kesadarannya sendiri sehingga dapat menyadari kebenaran bahwa segala sesuatu adalah perwujudan dari Sakti dan Siwa, dan bahwa semua adalah baik. Kesadaran ini dapat dicapai melalui beberapa tahap, yaitu:
1.        Vedacara, yaitu melakukan korban dan mengucap mantra. Ini disebut kriya marga.
2.    Vaisnavacara, yaitu bhakti seperti yang dilakukan pada aliran Wisnu (disebut Bhakti marga).
3.  Saivacara, yaitu jalan penalaran untuk mengenal sifat Siwa yang sebenarnya (jalan pengetahuan atau jnana marga).
4.  Daksinacara (jalan kanan), yaitu jalan orang yang sudah sadarakan sifat Siwa yang sebenarnyasehingga sesembahan dan puja idak lagi ditunjukkan kepada Siwa tetapi kepada Saktinya.
5.    Vamacara (jalan kiri), yaitu jalan bagi orang yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan dan dilakukan diwah bimbingan seorang guru.
6.        Siddhantacara, yaitu jalan kesadaran sejati, jalan keinsafan.
7.      Kaulacara, yaitu jalan orang yang sudah sadar dan menghayati bahwa segala sesuatu adalah sakti dan satu dengan Siwa. Orang seperti ini telah mencapai moksa sewaktu masih hidup di dunia.[32]
Sekte Tantra
Aliran ini disebut dengan tantrayana karena mendasarkan diri pada kitab-kitab tantra. Sekte tantra merupakan perpaduan yang sinkretistik dari berbagai macam kepercayaan, termasuk kepercayaan primitive di India.[33]
Menurut tantrayana, makrokosmos (jagad atau alam semesta) identik dengan mikrokosmos (manusia) dan segala sesuatu merupakan perwujudan  tertentu dari “sang hyang para”, yaitu Siwa. Kesempurnaan tertinggi (moksa) tercapai dalam persatuan antara manusia dengan siwa. Jalan untuk mencapainya adalah melalui mantra, Samadhi dan mudra (sikap tangan tertentu).[34]
Aliran tantra berusaha memadukan ajaran yang menekankan pada kepentingan jasmani dalam melakukan kebaktian dengan ajaran yang menekankan pada kepentingan rohani dalam rangkai mencapai tingkat perkembangan yang tinggi. Tingkatan rohani yang tinggi ini dapat dicapai melalui ajaran yoga sebagai system untuk mncapai kesempurnaan batin. [35]
Aliran ini dalan usaha mencapai Nirwana lebih mementingkan cara penbacaan manter-mantera rahasia dan membebaskan ruang gerak hawa nafsu. Dalam kitab Tantrisme yang disebut kitab “AGAMA” dan “TANTRA” dinyatakan bahwa:
 “Hendaknya manusia jangan mengekang hawa nafsunya tetapi sebaliknya hawa nafsu harus dibebaskan dan diberi kepuasan. Dengan demikian, maka jiwa manusia menjadi merdeka dari segala tekanan-tekanan psikisnya”. [36]
Cara-cara yang ditempuh ialah dengan menjalankan lima “ma” yang terdiri dari:
ü   Matsya: makan ikan sebanyak-banyaknya;
ü   Mada: meminum tuak sebanyak mungkin;
ü   Mamsa: makan daging sebanyak-banyaknya;
ü   Mudra: makan sejenis nasi (padi-padian) sebanyak-banyaknya;
ü   Maethuna: melepaskan nafsu birahi sebanyak-banyaknya dengan wanita.[37]
Dengan kepuasan nafsu tersebut, manusia dapat melepaskan diri dari samsara. Adapun sistem ajaran Tantrayana tersebut diberikan dalam bentuk percakapan antara Siwa dengan Durga (isteri Siwa).
Di Jawa sekte ini terkenal dengan nama BAIRAWA.

A.       KESIMPULAN
Dari beberapa uraian diatas, tentang sekte-sekte yang berkembang dalam agama Hindu dapat disimpulkan dalam kolom berikut:
Sekte
Objek Pemujaan
Jalan untuk mencapai Moksa
Tokoh yang berpengaruh
Bhaktisme
Khrisna dan Rama
Bhakti
ü Khrisna Bhakti: Ramanuja dan Madhva (aliran Wedanta)
ü Rama Bhakti: Ramananda
Wisnuisme
Dewa Wisnu, Istrinya dan avatara
Bhakti
Ramanuja (Wasistadwaita) dan Madhva (Dwaita)
Siwaisme
Dewa Siwa dan Istrinya
Jnana Marga
Meykanda
Brahmanisme
Dewa Brahma
Bhakti
-
Shaktisme
Durga (sakti-nya Siwa)
Mantra, Mandala, Mudra
-
Tantranisme
Durga
Mantra, Samadhi dan Mudra
-
Pada intinya semua sekte ini lahir dengan tujuan yang sama yaitu untuk mencapai kelepasan (moksa). Adanya pengaruh Sad Darsana (pemikiran filsafat hindu) yang berkembang pada era Upanishad itulah yang menyebabkan masing-masing sekte dalam agama Hindu ini mempuyai konsepsi tersendiri dalam menanggapi beberapa segi ajaran agama. Diantaranya yang menjadi pokok persoalan yang umum dibicarakan sekte-sekte dalam Hinduisme ini adalah masalah metode mencapai kelepasan.


Referensi
Ali, Mukti. Agama-Agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press. Cet, I, 1988.
H. M. Arifin. Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar. Jakarta: PT Golden Terayon Press, 1995.
Parbasan, I Nyoman. Panca sradha: Sebagai Dasar Kepercayaan. Denpasar: Widya Dharma, 2009.
Siwanada, Sri Swami. Intisari ajaran hindu. Surabaya: PARAMITA, 2003.



[1] H. M. Arifin. Menguak MisteriAjaran Agama-Agama Besar, (Jakarta: PT Golden Terayon Press, 1995), h. 78
[2] H. A. Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), h.76
[3] H. A. Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia, h. 76
[4] I Nyoman Parbasana. Panca Sradha: Sebagai Dasar Kepercayaan, (Denpasar: Widya Dharma, 2009) h. 65
[5] H. A. Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia, h. 77
[6] H. A. Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia,h. 77
[7] H. A. Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia,h. 78
[8] H. A. Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia,h. 79
[9] H. A. Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia,h. 80
[10] H. A. Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia,h. 81
[11] H. M. Arifin. Menguak MisteriAjaran Agama-Agama Besar,h. 84
[12] Sri Swami Siwanada. Intisari ajaran hindu (Surabaya: PARAMITA, 2003) h. 144
[13] H. A. Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia,h. 81
[14] H. A. Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia,h. 81
[15] H. M. Arifin. Menguak MisteriAjaran Agama-Agama Besar,h. 84
[16] H. A. Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia,h. 81
[17] H. M. Arifin. Menguak MisteriAjaran Agama-Agama Besar, h. 85
[18] H. A. Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia,h. 82
[19] H. M. Arifin. Menguak MisteriAjaran Agama-Agama Besar, h. 85
[20] H. M. Arifin. Menguak MisteriAjaran Agama-Agama Besar, h. 85
[21] H. A. Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia,h. 83
[22] H. A. Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia,h. 83
[23] H. M. Arifin. Menguak MisteriAjaran Agama-Agama Besar, h. 86
[24] H. A. Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia,h. 83
[25] H. A. Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia,h. 83
[26] H. A. Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia,h. 83
[27] H. M. Arifin. Menguak MisteriAjaran Agama-Agama Besar, h. 87
[28] H. M. Arifin. Menguak MisteriAjaran Agama-Agama Besar, h. 87
[29] H. M. Arifin. Menguak MisteriAjaran Agama-Agama Besar, h. 87
[30] H. A. Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia,h. 85
[31] H. A. Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia,h. 85
[32] H. A. Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia,h. 86
[33] H. A. Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia,h. 86
[34] H. A. Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia,h. 86
[35] H. A. Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia,h. 87
[36] H. M. Arifin. Menguak MisteriAjaran Agama-Agama Besar, h. 88
[37] H. M. Arifin. Menguak MisteriAjaran Agama-Agama Besar, h. 88