HINDUISME/STUDI AGAMA HINDU
Perbandingan Agama / III-B Guru adalah Gudang Ilmu, Buku adalah Kunci Ilmu -*DENGAN MEMBACA KITA BUKA JENDELA DUNIA*-
19 Mei 2013
19 Des 2012
Makalah 7 - Filsafat Wedanta
Pendahuluan
Agama Hindu tidak didirikan oleh orang tertentu,
pemikiran, atau inkarnasi tertentu. Dengan demikian, tradisi Agama Hindu
bukanlah bersifat tunggal dan merupakan sistem teori, prinsip, atau praktek
yang sederhana. Hal ini terdiri dari berbagai
pemikiran da pengalaman yang berbeda yang telah terkumpulkan selama lebih dari
ribuan tahun oleh para Rsi dan orang-orang suci.[1]
Filsafat, agama, dan ilmu saling berkaitan. Walaupun
agama berlandaskan kepercayaan, dan filsafat berdasarkan pertimbangan (ratio),
akan tetapi tidak bertentangan, sebab ditinjau dari sudut tujuannya, sama-sama
mencari kebenaran.[2]
Agama Hindu pun tak terlepas dari Filsafat yang dikenal dengan nama Darsana
(Filsafat Hindu).
Makalah 11 - Guru Nanak dan Ajaran-Ajarannya
Pendahuluan
Pengaruh
Islam dapat dilihat dari gerakan religious di India Utara dengan ciri
monoteisme ketat, tanpa menghiraukan perbedaan kasta dan menolak pemujaan
terhadap imaji (patung, gambar dsb.). sebagai contoh Kabir (abad ke-15) yang
mengajarkan sebuah agama yang universal berdasarkan pada realisasi personal
akan Tuhan yang tinggal dihati manusia. Kemudian, adalah Guru Nanak yang akan
kita diskusikan pada makalah ini yaitu seorang yang mendirikan agama Sikh
(1469-1538), yang berusaha menyelaraskan Islam dan Hinduisme.[1]
Makalah 9 - Filsafat Mimamsa
A.
PENDAHULUAN
Pada Zaman
India Kuno, setiap pengetahuan diasosiasikan dengan sebuah keterampilan yang
sangat khusus dan pandangan hidup yang baik. Pengetahuan terutama tidak
diperoleh dari buku-buku, kuliah, diskusi dan percakapan, tetapi dikuasai
melalui pembelajaran dari seorang guru yang mumpuni. Pembelajaran ini
mensyaratkan penyerahan diri secara
total sebagai murid pada otoritas guru; penyerahan diri itu berupa kepatuhan (susrusa)
dan keyakinan yang implisit ( sraddha).
Murid yang di
dalam dirinya bersemayam kebenaran sebagaimana si raja hutan bersemayam di
dalam harimau kecil tunduk tanpa syarat kepada gurunya, yang sebagai
kontribusinya memberikan pengetahuan kepada si murid. Guru adalah juru bicara
pengetahuan yang tinggidan ahli dalam keterampilan tertentu. Murid, ketika
menjalankan ibadah religiusnya, harus tunduk kepada guru suciyang memiliki
keahlian dan kearifan yang menjadi dasar pengetahuan dalam kariernya.[1]
12 Des 2012
Sekte-Sekte dalam Agama Hindu
A.
PENDAHULUAN
Setiap agama pada realita pasti mengenal berbagai aliran-aliran,
sekte-sekte, madzhab-madzhab, golongan-golongan. Alasan utamanya adalah
perbedaan pemahaman terhadap ajaran-ajaran tertentu atau perbedaan
interpretasinya.
Tuhan Yang Maha
Esa adalah Brahman, merupakan asal dari semua yang ada yang pernah ada dan yang
akan ada, baik yang bersifat nyata (sekala) maupun yang sersifat tidak nyata
(niskala). Alam semesta jagad raya ini adalah ciptaan Tuhan, sebagai wujud
nyata akan kemaha beradaan Tuhan.
Alam
semesta yang penuh dengan luas yang tiada batasnya ini mengandung rahasia Ilahi
yang tak terjangkau oleh alam pikir manusia, walau dibantu dengan tehnologi
secanggih apapun. Demikian maha agung dan maha luasnya alam semesta jagad raya
ini sebagai wujud nyata adanya Sang Pencipta Yang Maha Agung yang menciptakan
segala yang ada di alam semesta ini.
Setelah
memahami kemaha agungan Tuhan Yang Maha Esa, selanjutnya bagaimana metode
mendekatkan diri kehadapan-Nya, sehingga keberadaan Tuhan betul-betul
dirasakan. Banyak jalan yang ditempuh oleh umat manusia untuk melakukan
pendekatan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa. Banyak agama dengan sekte-sektenya
dan aliran kepercayaan yang mengajarakan berbagai cara untuk umat manusia
mendekatkan diri dan menempuh jalan ketuhanan. Seperti dalan agama Hindu muncul
beberapa Sekte yang dikenal dengan Sekte
Bhakti, Sekte Wisnu, Sekte Siwa, Sekte Brahma, Sekte Sakti, dan Sekte Tantra.
B.
SEKTE-SEKTE
DALAM HINDUISME
Sebagaimana
yang terdapat dalam agama-agama besar lainnya, maka dalam agama Hindu juga
terdapat aliran-aliran atau sekte-sekte yang masing-masing mempuyai konsepsi
tersendiri dalam menanggapi beberapa segi ajaran agama yang dipandang lebih
penting dari ajaran pokoknya. Pada
umumnya sekte-sekte dalam hinduisme ini meletakkan dasarnya dalam masalah
metode mencapai kelepasan dari samsara serta masalah filsafat atau teologinya.[1]
Kita menyadari bahwa semua orang ingin mendapatkan jalan yang
semudah-mudahnya untuk mencapai tujuan (cita-cita) dengan hasil semaksimal
mungkin. Demikian juga halnya dengan usaha sekte-sekte ini dalam mencapai
tujuan hidupnya
Agama
hindu setelah mengalami perkembangannya lebih lanjut maka sejak 350 SM,
timbullah berbagai macam penafsiran atas kitab weda dalam bentuk
pemikiran-pemikiran filsafat, sebagaimana kitab-kitab Brahmana, Upanishad,
Purana, Aranyaka, Bhagavadgita dan lain sebagainya.
Pada garis besarnya kitab-kitab hindu tersebut berisi
tentang masalah-masalah sebagai berikut :
- Cerita tentang penciptaan dunia
- Cerita tentang pembagian periode-periode zaman (Manvantarani)
- Genealogi yaitu silsilah raja-raja dan riwayatnya
- Cerita yang mengandung masalah eskatologi (hal-hal yang berhubungan dengan hidup dalam alam akhirat)
- Cerita tentanng kekuasaan dewa-dewa dan perbuatan-perbuatannya terhadap manusia yang menggambarkan bagaimana hubungan timbal- balik antara manusia dengan dewa.
Dengan
timbulnya kesusasteraan kitab-kitab suci yang kesemuannya mengambil sumber dari
cerita-cerita kitab Weda yang kemudian diolah dan ditafsirkan oleh para pendeta
dengan latar belakang fikiran/perasaanya, maka akhirnya timbullah berbagi corak
tarikah untuk mencapai cita-cita hidup mereka dalam usaha melepaskan diri dari
samsara.
Latar
belakang Hinduistis yang masing-masing mereka tonjolkan dalam tarikah-tarikah tersebut, membawa
akibat kepada mereka untuk mengadakan pemilihan terhadap objek kedewataan yang
menjadi titik akhir tujuan pemujaannya. Dengan demikian itulah akhirnya muncul sekte-sekte
yang membentuk lingkaran pemujaan kepada dewa-dewa tertentu.
Sekte Bhakti
Sekitar tahun
500 SM, muncul beberapa kecenderungan “pemujaan”, pelayanan atau kebaktian yang
mencakup pengertian percaya, taat dan berserah diri kepada dewa.[2]
Urain tentang
bhakti terdapat dalam kitab Narada Bhakti
Sutra dan Shadilya Sutra. Kitab
ini banyak membicarakan wawasan keagamaan pada sekte bhakti yang terdapat di
India. Menurut sutra-sutra tadi, bhakti bukannya merupakan suatu “pengetahuan”
dan juga bukan merupakan “perbuatan ritus”, juga bukan merupakan “sistem
keagamaan”, tetapi merupakan kasih sayang, ketaatan, kepatuhan dan penyerahan
diri kepada sesuatu. Bhakti adalah “pasrah” setulus-tulusnya (prapatti) bukan
kepada suatu objek yang bersifat duniawi tetapi hanya kepada “dewa” semata
dengan segenap avatara atau ingkarnasinya.[3]
Bhakti ada dua
macam, yaitu:
1. bhakti
yang digolongkan sebagai kurang sempurna atau lebih bersifat rendah saja, yaitu
kalau motivasinya adalah hal-hal duniawi. Seperti keinginan untuk mendapatkan
anak laki-laki, ingin sukses dan sebagainya;
2. bhakti
yang sempurna, yaitu bila puja dan bhakti trsebut dilakukan melulu karena
tujuan mencapai dewa dan dengan hati yang tulus dan mengesampingkan segala
sesuatu.
Wujud bhakti
memiliki jenjang istilah maupun sikap sebagai tatakrama mewujudkan rasa bhakti
yang beretika. Istilah bhakti itu diantaranya adalah:[4]
1. Menghormati
adalah
pencetus bhakti terhadap semua makhluk, terhadap semua ciptaan Tuhan baik yang
nyata maupun tidak nyata.
2. Memuja
adalah wujud bhakti dalam bentuk lamtunan puji-pujian yang ditujukan kepada
kebesaran Tuhan baik dalam bentuk manifestasi-Nya atau sifat-sifat
ketuhananyang memberi berkah-Nya pada kebutuhan hidup ini.
3. Berdoa
adalah wujud bhakti yang dilakukan dalam menyampaikan permohonan kehadapan-Nya.
Atas ketidak mampuan dan keterbatasan kita.
Ajaran bhakti tampak jelas dalam kitab Bhagavadgita yang sering dianggap
sebagai dokumen transisional dan kurang konsisten. Bhagavadgita mulai dengan
tekanan pada ajaran amal perbuatan yang disebut dengan “karmayoga”dan berakhir
pada bhakti kepada khrisna. Sekalipun kitab tersebut mengutamakan ajaran
yang disebut “jnanayoga” sebagai bhakti juga, namun jalan menuju dewa atau
Tuhan disini tidak merupakan jalan yang sangat penting. Harus diakui bahwa
ajaran bhakti yang terpenting sebenarnya adalah ajaran tentang keselamatan.[5]
a.
Khrisna Bhakti
Khrisna sering disebut dalam kitab Mahabharata (suatu epic yang disusun
sekitar 400 SM-400 M). dalam kitab ini khrisna muncul sebagai pahlawan yang
kemudian terangkat dalam pemujaan sebagai dewa yang maha tinggi dan menjadi
Tuhan yang kalau dipuja dan disembah akan menyelamatkan manusia.[6]
Kitab
Bhagavadgita memuat uraian tentang suatu peperangan yang tekanannya adalah pada
ajaran tentang amal perbuatan atau “karmayoga”. Puncaknya terdapat pada
ketaatan Arjuna yang menerima ajaran Krishna berupa pandangan wejangan-wejangan
yang mistis. Kunci kepercayaan mengenai Bhakti adalah kepada “Tuhan” semata.
Pandangan demikian ditujukan pada orang yang memuja dan melakukan Bhakti,
mengabdi dan pasrah hanya kepada dewa, dan mereka inilah orang-orang yang
mendapatkan anugerah serta rahmat dari Krishna. Intrepetasi karma yang sangat
menekankan pada usaha sendiri sangat erat dengan ajaran diatas. Sekalipun
Bhagavadgita mengajarkan bahwa perbuatan pasti terjadi dan bahwa karma adalah
hasil atau akibat dari perbuatan, namun disini tampak bahwa dalam ajaran Bhakti
orang yang memuja dan melakukan Bhakti pada Krishna tidak akan mengalami
kelahiran kembali.
Cerita-cerita
mengenai Krishna banyak berkembang sekitar abad ke-4 M yaitu ketika tersusunnya
Mahabharata, Harivangsa, dan Bhagavad Puruna. Konon Krishna dilahirkan
dalam suatu keluarga bangsawan, dan sejak kecil sudah memperlihatkan hal-hal
yang luar biasa. Ia menjalin kisah asmara dengan seorang gadis gembala bernama
Radha. Keduanya sering dilukiskan bersama-sama dan seringkali digunakan sebagai
suatu kiasan hubungan antara jiwa dan Tuhan.
Kisah
Krishna banyak disyairkan oleh para alvar (para penyair yang biasanya
mengungkapkan kehidupan keagamaan atau rasa ketuhanan). Sedemikian mendalamnya
mereka tenggelam dalam perasaan ketuhanan dapat dilihat dalam ungkapan-ungkapan
mereka tentang kehidupan Krishna dan Radha. Bhakti banyak dilukiskan sebagai
tipe orang yang cinta terhadap Tuhan, sebagai cinta kasih orang tua terhadap
anaknya. Para alvar tersebut sering mengungkapkan ketaatan dan kepatuhan
terhadap Tuhan dalam istilh sakhnya (cinta kasih sayang), dasya
(pemujaan dan pengabdian seorang hamba terhadap Tuhannya), vatsalya
(kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya), juga madhurya (cinta kasih
seorang wanita terhadap pria pujaannya). Para alvar itu banyak yang menempati
hati pada acarya yang tampak jelas pengaruhnya dalam pemikiran dasar
filosofis tentang Bhakti dan ketuhanan. Diantaranya adalah Acarya Ramanuja.[7]
b.
Rama Bhakti
Rama dikemukakan sebagai pahlawan agung, dan masih tetap manusia. Banyak
dewa agama weda disebut dalam epic tersebut, Wisnu dan Siwa menempati kedudukan
yang penting. Seperti halnya Khrisna, Rama adalah inkarnasi wisnu. Ia
memenangkan Sita melalui suatu sayembara. Dalam cerita kemudian, rama dan Sita
diusir, dibuang ke hutan sesuai dengan janji ayahnya, Dasharata, terhadap
istrinya yang kedua.[8]
Tokoh
sekte ini adalah Ramananda yang hidup disekitar abad 15 M, ia memuja Rama dan
Sita, ia tidak menganggap penting persoalan kasta dalam kaitannya dengan
ajaran agama Bhakti. Para penganut ini umumnya berpendapat bahwa seseorang
dapat mencapai kelepasan melalui pemujaan terhadap dewa atau Tuhan tanpa
memperdulikan masalah kasta. Paham ini disebut Ramanandi, dan sering juga
disebut Ramawat. Sekte ini percaya kepada tuhan yang disebut Rama, dan menurut
mereka Bhakti adalah cinta kasih terhadap tuhan secara sempurna dan bahwa semua
manusia adalah bersaudara. Ramananda tidak sepakat dengan gurunya dalam hal
peraturan-peraturan yang ketat mengenai pertarakan dan juga dalam hal larangan
makan bersama-sama dengan orang-orang dari kasta yang berbeda. Pemujaan
terhadap Rama dilepaskan dari hal yang bersifat esoteris yang diperoleh dari
pemujaan terhadap Krishna. Pengikutnya tersebar luas kesegenap penjuru India.[9]
Sekte Wisnu
Sekte wisnu merupakan suatu aliran yang menekankan peemujaan
terhadap Wisnu, istrinya dan avataranya. Pemujaan ini biasanya mengutamakan
tafsiran teistik pada Wedanta, diantaranya oleh Visnusvamin (abad ke-13),
Vattabhacarya (1479-1531), dan Nimbaska (abad ke 12).[10]
Sekte
ini lebih mengutamakan pemujaannya kepada dewa Wisnu karena dewa ini sangat
simpatik bagi mereka dengan sifat-sifatnya yang berdasar pada perasaan bhakti
(cinta).[11]
Wisnu
biasanya dibedakan menjadi 4 sampradaya
pokok atau sekte, diantaranya yang sangat kuno adalah Sri Sampradaya yang diperkenalkan oleh Ramanuja Acarya, kira-kira pertengahan abad ke-12. Para Pengikut Ramanuja memuliakan Wisnu dan Laksmi beserta inkarnasinya, mereka
disebut pengikut Ramanuja atau Sri Sanpradayin atau Sri Waisnawa.[12]
Tokohnya yang terkenal adalah ramanuja (wasistadwaita) dan
madhva (dwaita) dalam filsafat wedanta. Ramanuja adalah seorang brahmana asal India selatan. Ia
beruasha untuk mempersatukan agama Wisnu. Ia menuliskan tafsir wedanta-sutra,
yang disebutnya dengan sri bhasya. Ramanuja menyusun marga-marga menjadi Karma
marga (jalan pekerjaan), Jnana marga (jalan budi yang lurus), dan Bhakti marga
(jalan penyerahan diri kepada tuhan).[13]
Sumber lain menambahkan yoga marga (jalan pengheningan cipta dan bertapa).
Mahdva adalah seorang yang pada sekitar abad ke-13 membawa
teologi aliran wisnu kedalam dualisme bebas. Wisnu sebagai jiwa dan sangat
berbeda dengan alam.[14]
Jiwa ini punya sebutan sebagai cit (sadar) dan materi atau alam dinamakan
sebagai acit (tidak sadar). Alam materi sangat bergantung dan tunduk
kepada tuhan dan tuhan akan menyelamatkan orang-orang yang disenanginya yang
hanya merekalah yang tulus dan suci saja. Dan jiwa takkan binasa melainkan
dapat berpindah-pindah dari jasad tanpa akhir.
Pandangan
pengikutnya antara lain menyatakan bahwa kebaikan wisnu dengan bhaktinya adalah
yang dapat memberikan jaminan kedamaian hidup bagi umat pemujannya, karena itu
cukuplah bagi pengikut-pengikutnya untuk menyerahkan diri saja kepadanya.
Sikap
penyerahan diri kepadanya akan membawa mereka kepada Nirwana. Segala kebaikan
bakti Wisnu (atau disebut iswara atau bagavat) itu dilukiskan dengan panjang
lebar dalam kitab sucinya yaitu kitab purana. Didalam kitab tersebut
diceritakan bagaimana manifestasi dan kebaikan bhakti Wisnu dalam usahanya
menolong ummat manusia dari segala bentuk kehancuran dan kejahatan. Dengan
jelma (melakukan avatara) menjadi berbagai makhluk ajaib dalam 10 rupa, maka
kehancuran dan kejahatan dapat dihindari.[15]
Dalam perkembangan selanjutnya aliran ini berkembang
menjadi beberapa sekte dan yang penting diantaranya Pancharatra, Waikhanas dan Karmahina. Sampai sekarang aliran yang
mempunyai banyak penganut di India adalah aliran sri dengan tokohnya ramanuja,
aliran Brahma dengan tokohny Madvacarya,
aliran Rudra dengan tokohnya Visnuvamy, dan sanak dengan tokohnya Nimbaska.[16]
Seperti dikemukakan dalam literatur, sekitar abad ke-4 ada
dua dewa yang sangat terkenal yaitu wisnu dan Siwa pada masa purana sekitar
300-1200, wisnu sangat tinggi kedudukannya dan sangat luas pengaruhnya karena
ajaran avataranya yang dikembangkan saat itu. Dalam purana, wisnu dinyatakan
mempunyai beberapa avatara secara tradisional), akan tetapi kalau diperhatikan
benar-benar barangkali saja ada lebih dari duapuluh avatara. Kesepuluh avatara
tersebut ialah :
(1) Matsyavatara, berupa ikan besar
untuk menolong manusia pada saat banjir besar melanda dunia yang akan
menenggelamkannya.
(2) Kurnavatara, sebagai kura-kura
untuk menolong dewa-dewa pada waktu mengaduk samudera guna mendapatkan air
amerta (air hidup) yakni air yang bilamana diminum orang akan mengalami hidup
kekal abadi.
(3) Narashimha, sebagai singa yang
berbadan manusia yang membunuh raksasa yang tidak bisa dibunuh olehsiapapun.
(4) Varahavatara, sebagai babi rusa yang
menolong manusia dengan menggigit bumi yang pada saat itu akan dibawa karpatala
(neraka dibawah bumi) oleh musuh-musuh manusia.
(5) Vamanavatara, sebagai oarang
cebol yang dapat mengalahkan cucu raksasa yang bernama Narashinka. Cucu raksasa
tersebut bernama Bali (Daitya Bali)
(6) Budhavatara, sebagai budha yang
bertugas melemahkan musuh-musuh dewa yang menyebarkan ilmu palsu.
(7) Parasuramvatara, sebagai
kesatrya yang bersenjatakan parasu ( kampak) membunuh beberapa kesatrya yang
menghina ayahnya, sebagai pembalasan atas penghinaan tersebut.
(8) Ramavatara, rama sebagai kesatrya,
anak Dasarata yang dibuang kehutan belantara, dimana ia kehilangan isterinya
Shinta, karena perbuatan Dasamuka (Rahmana) yang berwatak rakus dan yang
menganiaya ummat manusia. Akhirnya Rama dapat membunuh Rahwana serta dapat
merebut kembali isterinya, (cerita tentang Rama tersebut diuraikan dalam kitab
Ramayana).
(9) Kalkiavara, sebagai Kalki ( Ratu
Adil) yang dapat mmententramkan dunia yang mengalami kekacauan akibat perbuatan
makhluk-makhluk jahat di dunia.
(10) Kresnavatara, sebagai Kresna yang
kemudian membunuh Raja Kamsa (seorang raja Mathura kemenakan Kresna).[17]
Wisnu banyak disebut dalam rigweda. Legendanya terdapat
dalam Shataphata brahmana. Dalam cerita-cerita klasik dan ikonografi
purana, wisnu dilukiskan berbaring diatas air pada lingkaran gulungan ular
kobra yang berkepala seribu yang melindunginya sebagai tudung diatas kepala dan
dari pusarnya tumbuh setangkai bunga teratai yang diatasnya ada brahma sang
pencipta dunia. Wisnu disini adalah sebagai sang pencipta narayana dalam
tubuhnya dan dewa-dewa lainnya terserap kedalam dirinya sebagai avatara-avatara
semata.[18]
Semua
avatara Wisnu tersebut merupakan salah satu gambaran simbolis yang mencerminkan
tentang kebenaran kepercayaan Wisnuisme kepada adanya “juru selamat” dunia dan
manusia dari kehancuran hidupnya.[19]
Juru
selamat tersebut hanyalah Wisnu tiada dewa yang lainnya yang mampu dengan
kasihnya menyelamatkan umat manusia. Oleh karena itu maka pengikut-pengikutnya
selalu berserah diri kepada segala kekuasaan dan kehendaknya. Yang dengan demikian
mereka dapat mencapai nirwana sebagai yang dicita-citakan itu.[20]
Dalam aliran wisnu masih terdapat dewa lain yang juga
dipuja, seperti brahma sang pencipta dan istrinya saraswati yang banyak dipuja
oleh para seniman musik dan sastrawan serta para siswa yang mengharapkan
kelulusan. Dewa surya (dewa matahari) juga banyak dipuja dikalangan maga
Brahman. Anak Siwa yag berkepala gajah yaitu Ganesha juga anak yang lain yaitu
Skandha (Kartikeya, Subrhamanya) banyak dipuja di Tamilnad. Istri wisnu sendiri
Lakshmi juga dipuja dan disembah sebagai dewi keberuntungan.[21]
Sekte siwa
Sekte ini lebih
tua dari sekte wisnu. Disini siwa dianggap sebagai dewa tertinggi, sementara
Brahma dan Wisnu dianggap sebagai penjelmaan dari siwa. Istri siwa atau
saktinya adalah uma dan parvati. Siwa
dipuja sebagai dewa tertinggi dengan nama mahadeva
atau mahasevara dengan saktinya mahadevi
atau mahasevari. siwa juga disebut sebagai guru oleh para resi atau para
yogin (pertapa). Karena itu ia disebut sebagai mahaguru atau mahayogi.[22]
Pemeluk-pemeluk
aliran ini sangat optimis terhadap kebulatan kekuasaan dewa Siwa ini. Karena ia
dipercayai dapat menjelma menjadi berbagai bentuk kedewataan yang menggambarkan
akan kekuasaannya yang besar. Sebagai tanda kekuasaannya dewa ini digambarkan
secara fantastis dengan tangan empat. Bilamana sedang menjadi Siwa, mahadewa
maheswara, maka tak ada dewa satupun
yang dapat mengalahkan kekuasaannya, bilamana ia sedang menjelma menjadi dewa
maha guru maka Siwa adalah sebagai orang tua berjanggut yang sholeh dan suka
membimbing manusia kearah hidup bahagia. Tetapi jika ia sedang menjelma menjadi
mahakala, maka watak serta sikapnya dilukiskan sebagai raksasa yang buas,
merusak apa yang dikehendaki dan kejam.[23]
Dalam aliran siva-Bhagavata, Siwa sering kali diberi
avatara-avatara yang hampir sama dengan yang ada pada aliran Wisnu. Hanya saja
dalam aliran Siwa avatara-avatara tersebut tidak besar pengaruhnya, dan Siwa
tetap menonjol dari padanya.[24]
Penganut Hindu dari sekte Siwa
meyakini Tuhan adalah Siwa. Salah satu bentuk pemujaan Siwa yang dilakukan oleh
pada Pendeta Siwa adalah dengan mengucapkan mantra yang disebut sebagai Mantra
Catur Dasa Siwa, yakni empat belas wujud Siwa. Mantra ini digunakan untuk
mendapat pengaruh ke-Tuhan-an yang kuat dan suci serta untuk mendapat
kebahagian sekala-niskala.
Para penganut siwa juga mengakui
bhakti sebagai cara memuja dan menyembah Siwa. Sekte ini juga terpecah-pecah
menjadi beberapa aliran lagi, seperti pasupata,
kalamuka, lingayat dan kapalika. Aliran-aliran ini mendasarkan pandangannya
pada kefilsafatan.[25]
Tokoh aliran Siwa yang terkenal
adalah meykanda yang mengajarkan
konsep pati (tuhan) itu
kekal, berada tanpa sebab dan maha kuasa. Tuhan adalah Siwa yang berada
dimana-mana dan mengetahui segala sesuatu, segala sesuatu adalah ciptaannya
melalui “sakti” nya. Pasu (jiwa) juga kekal. Pasu terkandung oleh mala (semacam karat) yang
terdiri dari tiga pasa (ikatan, persatuan), yaitu anava, karma dan maya sehingga jiwa selalu berada dalam samsara.
Hanya oleh Siwa yang berkuasa atas maya jiwa dapat lepas dari samsara dan
mencapai moksa.[26]
Sekte Brahma
Aliran ini lebih mengutamakan
pemujaan kepada dewa Brahma, yang didalam paham trimurti dipandang sebagai dewa
pencipta alam. Kaum Brahmanalah yang banyak menjadi pengikut sekte ini, dengan
kitab sucinya yang mereka susun sendiri kitab Brahmana (800 SM).[27]
Didalam kitab tersebut diuraikan tentang cara-cara bersaji dan penyelenggaraan
kurban-kurban yang baru dianggap sah apabila didasarkan atas petunjuk-petunjuk
para pendeta.
Pokoknya aliran Brahma ini timbul
atas usaha kaum brahmana (pendeta) untuk mempertahankan kedudukannya. Maka itu
didalam kitab Brahmana (tafsir kitab Weda) dijelaskan adanya keharusan
ketundukan orang kepada dua jenis dewa, yaitu dewa-dwea yang benar-benar dewa
yang tinggal di kahyangan dan dewa-dewa manusia yaitu para pendeta.[28]
Realisasi dari keinginannya
dinyatakan dalam bentuk kehidupan kekastaan yaitu adanya empat kasta, yang
ternyata sebagai kasta tertingi adalah Brahmana; ia merupakan golongan yang
mempunyai hak-hak istimewa serta kekuasaan luar biasa atas masyarakat dan atas
upacara-upacara agama, sehingga dianggap dapat mempengruhi dewa untuk turun ke
dunia nyata guna memenuhi permintaan mereka.
Brahma dalam rangkaian trimurti
dipandangs ebagai dewa yang paling berkuasa dalam mencipta sesuatu, yang
kedudukannya lebih tinggi dari pada kedua dewa lainnya. Itulah sebabnya ia
digambarkan sebagai tokoh dewa yang berkepala 4 (empat) serta berwajah indah
dengan tanda sekuntum bunga teratai serta naik Hamsa (angsa).[29]
Sekte Sakti
Sebenarnya
aliran ini masih dapat dimasukkan sebagai bagian dari aliran Siwa, tetapi
karena yang disembah dan dipuji bukan lagi Siwa melainkan saktinya dalam bentuk
Durga, dan karena lebih luas dan lebih mendalam, maka lebih tepat kalau
dianggap sebagai salah satu aliran keagamaan tersendiri dalam agama Hindu.
Sakti adalah kekuatan, prinsip aktif yang
menyebabkan Siwa mampu menciptakan. Tanpa Sakti tersebut Siwa tidak akan dapat
berbuat apa-apa karena Siwa adalah prinsip pasif. Karena itu Sakti menjadi
lebih penting daripada Siwa sendiri. Segala sesuatu terjadi karena bersatunya
prinsip pasif dengan prinsip aktif. Yaitu persatuan Siwa dengan Saktinya,
Durga.[30]
Persatuan
antara Siwa dan Saktinya adalah persatuan antara laki-laki dan perempuan, yang
dilambangkan sebagai Linga dan Yoni. Karena itu hubungan seks mempunyai arti
yang sangat penting dalam sekte Sakti ini. Karena segala sesuatu tercipta
melalui persatuan tersebut, maka segala sesuatu mengandung kekuatan dan Sakti
Siwa. Bentuk-bentuk tertentu dari Sakti dan segala sesuatu adalah baik; tidak
ada yang tidak baik. Hanya orang yang tidak mengerti saja yang beranggapan
bahwa ada yang baik dan ada yang tidak baik. Ini keliru, karena anggapan itu
hanya didasarkan pada kesadaran manusia sendiri.[31]
Untuk
mencapai kebenaran dan kelepasan (moksa) manusia harus melepaskan diri dari
belenggu kekeliruan ini. Ia harus melepaskan kesadarannya sendiri sehingga
dapat menyadari kebenaran bahwa segala sesuatu adalah perwujudan dari Sakti dan
Siwa, dan bahwa semua adalah baik. Kesadaran ini dapat dicapai melalui beberapa
tahap, yaitu:
1.
Vedacara, yaitu
melakukan korban dan mengucap mantra. Ini disebut kriya marga.
2. Vaisnavacara,
yaitu bhakti seperti yang dilakukan pada aliran Wisnu (disebut Bhakti marga).
3. Saivacara, yaitu
jalan penalaran untuk mengenal sifat Siwa yang sebenarnya (jalan pengetahuan
atau jnana marga).
4. Daksinacara
(jalan kanan), yaitu jalan orang yang sudah sadarakan sifat Siwa yang
sebenarnyasehingga sesembahan dan puja idak lagi ditunjukkan kepada Siwa tetapi
kepada Saktinya.
5. Vamacara (jalan
kiri), yaitu jalan bagi orang yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan dan
dilakukan diwah bimbingan seorang guru.
6.
Siddhantacara,
yaitu jalan kesadaran sejati, jalan keinsafan.
7. Kaulacara, yaitu
jalan orang yang sudah sadar dan menghayati bahwa segala sesuatu adalah sakti
dan satu dengan Siwa. Orang seperti ini telah mencapai moksa sewaktu masih
hidup di dunia.[32]
Sekte Tantra
Aliran ini
disebut dengan tantrayana karena
mendasarkan diri pada kitab-kitab tantra. Sekte tantra merupakan perpaduan yang
sinkretistik dari berbagai macam kepercayaan, termasuk kepercayaan primitive di
India.[33]
Menurut
tantrayana, makrokosmos (jagad atau alam semesta) identik dengan mikrokosmos
(manusia) dan segala sesuatu merupakan perwujudan tertentu dari “sang hyang para”, yaitu Siwa.
Kesempurnaan tertinggi (moksa) tercapai dalam persatuan antara manusia dengan
siwa. Jalan untuk mencapainya adalah melalui mantra, Samadhi dan mudra (sikap
tangan tertentu).[34]
Aliran
tantra berusaha memadukan ajaran yang menekankan pada kepentingan jasmani dalam
melakukan kebaktian dengan ajaran yang menekankan pada kepentingan rohani dalam
rangkai mencapai tingkat perkembangan yang tinggi. Tingkatan rohani yang tinggi
ini dapat dicapai melalui ajaran yoga sebagai system untuk mncapai kesempurnaan
batin. [35]
Aliran
ini dalan usaha mencapai Nirwana lebih mementingkan cara penbacaan
manter-mantera rahasia dan membebaskan ruang gerak hawa nafsu. Dalam kitab
Tantrisme yang disebut kitab “AGAMA” dan “TANTRA” dinyatakan bahwa:
“Hendaknya manusia jangan mengekang hawa
nafsunya tetapi sebaliknya hawa nafsu harus dibebaskan dan diberi kepuasan.
Dengan demikian, maka jiwa manusia menjadi merdeka dari segala tekanan-tekanan
psikisnya”. [36]
Cara-cara
yang ditempuh ialah dengan menjalankan lima “ma” yang terdiri dari:
ü Matsya:
makan ikan sebanyak-banyaknya;
ü Mada:
meminum tuak sebanyak mungkin;
ü Mamsa:
makan daging sebanyak-banyaknya;
ü Mudra:
makan sejenis nasi (padi-padian) sebanyak-banyaknya;
ü Maethuna:
melepaskan nafsu birahi sebanyak-banyaknya dengan wanita.[37]
Dengan
kepuasan nafsu tersebut, manusia dapat melepaskan diri dari samsara. Adapun
sistem ajaran Tantrayana tersebut diberikan dalam bentuk percakapan antara Siwa
dengan Durga (isteri Siwa).
Di
Jawa sekte ini terkenal dengan nama BAIRAWA.
A.
KESIMPULAN
Dari beberapa uraian diatas, tentang sekte-sekte yang berkembang dalam
agama Hindu dapat disimpulkan dalam kolom berikut:
Sekte
|
Objek Pemujaan
|
Jalan untuk mencapai
Moksa
|
Tokoh yang berpengaruh
|
Bhaktisme
|
Khrisna dan Rama
|
Bhakti
|
ü Khrisna Bhakti: Ramanuja
dan Madhva (aliran Wedanta)
ü Rama Bhakti: Ramananda
|
Wisnuisme
|
Dewa Wisnu, Istrinya dan avatara
|
Bhakti
|
Ramanuja (Wasistadwaita) dan Madhva (Dwaita)
|
Siwaisme
|
Dewa Siwa dan Istrinya
|
Jnana Marga
|
Meykanda
|
Brahmanisme
|
Dewa Brahma
|
Bhakti
|
-
|
Shaktisme
|
Durga (sakti-nya Siwa)
|
Mantra, Mandala, Mudra
|
-
|
Tantranisme
|
Durga
|
Mantra,
Samadhi dan Mudra
|
-
|
Pada intinya semua sekte ini lahir dengan tujuan yang sama yaitu untuk
mencapai kelepasan (moksa). Adanya pengaruh Sad Darsana (pemikiran filsafat
hindu) yang berkembang pada era Upanishad itulah yang menyebabkan masing-masing
sekte dalam agama Hindu ini mempuyai konsepsi tersendiri dalam menanggapi
beberapa segi ajaran agama. Diantaranya yang menjadi pokok persoalan yang umum
dibicarakan sekte-sekte
dalam Hinduisme ini adalah masalah metode mencapai kelepasan.
Referensi
Ali, Mukti. Agama-Agama di Dunia.
Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press. Cet, I, 1988.
H. M. Arifin. Menguak
Misteri Ajaran Agama-Agama Besar. Jakarta: PT Golden Terayon Press, 1995.
Parbasan,
I Nyoman. Panca sradha: Sebagai Dasar
Kepercayaan. Denpasar: Widya Dharma, 2009.
Siwanada, Sri Swami. Intisari ajaran hindu. Surabaya:
PARAMITA, 2003.
[1] H. M. Arifin. Menguak
MisteriAjaran Agama-Agama Besar, (Jakarta: PT Golden Terayon Press, 1995),
h. 78
[4] I Nyoman Parbasana. Panca Sradha: Sebagai Dasar Kepercayaan, (Denpasar: Widya Dharma, 2009) h.
65
[12] Sri Swami Siwanada. Intisari
ajaran hindu (Surabaya: PARAMITA, 2003) h. 144
Langganan:
Postingan (Atom)